Sabtu, 25 Februari 2012

Aku Dan Pak Pardi


Waktu itu aku berumur 16 tahun dan aku adalah anak seorang pejabat daerah. Aku tinggal di tempat yang pelosok, kebetulan daerah itu sedang dalam tahap pengembangan, letaknya di dekat laut dan rumahku dekat kaki gunung yang juga tak jauh dari laut.
Ayah dan ibuku setiap hari selalu pergi, entah itu rapat, penyuluhan atau apapun itu. Hari itu ayah bilang padaku untuk memberikan amplop pada Pak Pardi, tukang kebun yang berusia 40-an, berambut keriting tingginya mungkin sekitar 160 cm-an dan berbadan kekar dengan kulit kecoklatan terbakar matahari. Pak Pardi sedang mengurus kebon ayah.
Sore itu sekitar jam 4-an, aku pakai sepeda pergi ke kebon. Sesampai di gubuk tempat Pak Pardi biasa istirahat dia tak ada. Jadi aku cari sambil sesekali memanggil. Ternyata dia ada di pinggir kolam ikan, sedang menanam bibit jati. Aku biasa melihat Pak Pardi bekerja hanya memakai celana panjang dan tak berbaju, badannya keren sekali. Tapi hari ini pemandangan itu berubah, kulihat Pak Pardi hanya memakai celana kolor berwarna biru yang sudah hampir pudar warnanya.
Perlahan aku dekati dan berusaha tak membuat suara. Kontolku seketika ngaceng, apalagi semakin aku dekat dengannya aku semakin jelas melihat celana kolornya sudah tidak ketat lagi, karetnya sudah kendor sehingga karetnya turun dan disatu sisi aku melihat tonjolan yang lumayan besar, lalu disisi samping kiri dan kanannya aku melihat jembutnya yang menyeruak.
Lalu dia mengambil bibit dan menungging untuk menanamnya. Ternyata bagian bawah celana kolornya robek lumayan besar, sehingga salah satu biji pelernya sedikit keluar. Aku menahan nafas dan kuperbaiki posisi kontolku karena terasa sangat tidak nyaman. Aku berusaha menenangkan diriku, lalu aku pura-pura memanggil namanya lagi. Dia menengok dan sedikit kaget melihat aku sudah di dekatnya. Dia memperbaiki celana kolornya dan berusaha senyum meski aku tahu dia sedikit canggung.
"Pak, ini ada titipan dari ayah," ujarku sambil menyerahkan amplop dari kantong celanaku.
"Oh makasih Mas," katanya dengan mimik bingung akan ditaruh dimana amplop itu.
"Sini, aku bantu taruh Pak Pardi, di deket celana ya?" kataku sambil mengambil lagi amplop itu dari tangannya dan berjalan ke arah celana Pak Pardi yang di alasi daun pisang lebar tak jauh dari tempatnya menanam.
"Lagi apa sih Pak Pardi?" tanyaku lagi.
"Ini Mas, tanem bibit jati bapak, sudah selesai sih, bapak suruh ambil ikan buat acara besok jadi saya lepas celananya biar nggak kotor,"
"Oh," ujarku makfum.
Lalu kulihat dia mengambil jala besar dan melemparkannya ke arah kolam. Setelah beberapa lama, dia turun ke kolam dan air kolam setengah pinggang membasahi tubuhnya. Lalu dia menarik jala itu, kelihatannya dia sedikit kesusahan sehingga aku bantu dia menarik dari atas. Banyak sekali ikannya. Pak Pardi kemudian naik ke atas, dan saat itu kepala kontol Pak Pardi menyembul dari sisi samping celana kolornya, dan karena celana kolornya basah, tercetak jelas bagian rahasia Pak Pardi.
"Pak, kepalanya keluar tuh," ujarku sambil tertawa. Dia melihat ke bawah dan ikut tertawa sambil memasukkan kepala kontolnya, sungguh erotis.
Lalu dia nongkrong di atas jala untuk membersihkan beberapa kotoran sebelum mengambil ikan. Aku tak mensia-siakan kesempatan itu dan segera ikut nongkrong di depannya sambil berusaha membantu padahal tujuanku hanya ingin melihat kontolnya. Benar saja, karena kolornya basah menjadi agak berat sehingga merosot, kali ini aku bisa melihat jembutnya di bagian atas ban karet kolor tersembul keluar.
"Pak Pardi, tuh jembutnya keliatan," dia kembali tersenyum lalu menaikkan celananya sedikit.
"Enak ya Pak Pardi"
"Enak apanya Mas"
"Pak Pardi sudah jembutan, pasti lebet. Aku pengen banget punya jembut"
Dia tertawa dan kemudian berkata, "Lah pasti seumur Mas sudah ada"
"Iya sih, tapi pasti nggak selebat Pak Pardi" dan kulihat dia hanya tersenyum lagi.
Selesai sudah tugas dia hari itu, setelah membawanya ke pondok, masih dengan celana kolornya Pak Pardi membawa ember kecil.
"Mau kemana Pak?" tanyaku.
"Ke pancuran," jawabnya. Di kebon ayahku ini ada pancoran air dari bambu, sumbernya dari aliran air di gunung.
"Aku ikut ya Pak, serem disini sendirian"
"Lah, aku mau mandi kok ikut"
"Nggak apa-apa lah Pak, aku ikut yah"
"Ya sudah ikut saja"
Sambil berjalan aku mencoba memancing ke arah pembicaraan yang lebih saru.
"Pak Pardi masih suka ngocok nggak?"
Dia terlihat kaget dengan pertanyaanku, tapi dia menjawabnya, "Ya kadang-kadang"
"Berapa kali Pak sehari"
"Yah nggak tiap hari. Kalo istri mau malemnya ya hari itu saya tidak ngocok".
"Kamu suka ngocok," tanyanya kemudian.
"Iya Pak, suka sekali. Hari ini Pak Pardi ngocok nggak"
Selesai ku tanya begitu aku lihat ke arah celana kolornya dan semakin gembung saja, bahkan sudah membentuk tenda, sehingga celananya turun dan jembutnya kembali terlihat dan bentuk kepala kontolnya tercetak jelas.
"Sebenernya sih saya nggak rencana ngocok, tapi.."
"Tapi apa Pak?"
"Mas Win sih bikin saya ngaceng nih," ujarnya sambil memperbaiki posisi batang kontolnya.
"Yah kok di benerin sih Pak letaknya, saya suka sekali ngelihatnya"
Pak Pardi menatapku lalu berkata, "Mas win suka ngelihat kontol?"
"Iya Pak. Mm kalo boleh saya mau lihat kontol Pak Pardi, boleh nggak Pak?"
Pak Pardi menghentikan langkahnya dan kemudian membalikkan badannya ke arah saya. Dia diam saja, tapi tangannya menurunkan celana kolornya hingga sebatas lutut, sehingga terlihatlah pemandangan yang sangat saya impikan.
Kontol Pak Pardi gemuk dan besar, benar-benar full ngaceng dan batang kontolnya berurat-urat semakin menampakkan kesan jantan dan gagah. Pelernya tidak terlalu besar dan bulu-bulu jembutnya tumbuh lebat serta menyeruak kemana-mana, benar-benar kontol yang sempurna buatku.
Dengan agak sedikit gemetar aku memegang batang kontol itu, terus terang ini pertama kalinya aku megang kontol orang dewasa. Batang kontol itu terasa hangat dalam genggaman tanganku dan sesekali berkedut-kedut. Kulirik ke arah Pak Pardi dan dia juga menatapku tapi tanpa ekspresi. Aku buat gerakan mengocok seperti aku biasa mengocok kontolku dan Pak Pardi juga sangat menikmatinya, terbukti dia terus memaju mundurkan badannya.
Tiba-tiba aku lepas genggamanku dari kontolnya, dan sebelum dia bertanya aku berkata,
"Pak Pardi, tunjukin ke saya dong cara bapak biasa ngocok saya pengen liat orang gede ngocok kontol"
"Ohh, em gitu ya," ujarnya dengan nafas yang masih dikuasai birahi.
Kemudian Pak Pardi menarik daun pisang yang ada di dekat kami hingga putus, kemudian menaruhnya di tanah. Bersandar di pohon pisang itu Pak Pardi mulai mengocok kontolnya.
Dia mengocok kontolnya dengan gerakan yang cepat dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus meraba-raba bulu jembut dia yang ampun banget lebetnya dengan mata yang tertutup dan gumaman keenakan keluar dari mulutnya.
"Enak ya Pak?" tanyaku dan aku berada tepat disamping kontolnya.
"I.. Iya Mas Win, enak sekali. Kenapa nggak ikut ngocok sekalian?"
"Ah saya malu Pak, kontol saya nggak sebesar punya bapak"
"Kenapa malu, kamu kan belum sempurna betul pertumbuhan kontolnya. Lagi pula kontol itu yang penting maennya, bukan ukurannya."
"Gitu ya Pak?" jawabku gelisah karena kontolku memang pengen keluar karena sudah sangat ngaceng melihat tubuh bugil Pak Pardi yang berotot berada di atas daun pisang sedang mengocok kontolnya yang besar.
"Ah.. Shh, ayo Mas Win buka aja, apa mau bapak bukain?"
Akhirnya aku tahan juga dan segera membuka baju dan akhirnya celanaku hingga benar-benar bugil.
"Wah sudah ngaceng ya Mas Win," ujar Pak Pardi sambil tersenyum melihat keadaan kontolku.
"Iya Pak, abis ngeliat Pak Pardi bikin saya jadi ngaceng juga"
"Sini sebelah saya saja"
Aku kemudian duduk di sebelahnya dan mulai mengocok kontolku. Tangan kanan Pak Pardi menggerayangi jembutku.
"Jembut Mas Win persis kayak anak bapak, Atin, cuma kontol Mas Win ini agak panjang yah"
Aku kaget mendengar ucapan Pak Pardi.
"Memangnya Pak Pardi pernah liat kontol Atin?" tanyaku penasaran menghentikan gerakanku di kontol.
Atin adalah kakak kelasku di SMP, tapi dia nggak nerusin SMA mungkin karena biaya. Atin itu anak tertua dan satu-satunya dari Pak Pardi, dia juga sering membantu di rumah.
"Kenapa, Mas Win suka ya dengernya," ujar Pak Pardi yang kini membantuku mengocok.
Kulit tangannya terasa kasar di kontolku tapi genggaman tangannya sangat mantap, baru sekali ini juga batang kontolku di pegang orang, Aku sedikit kelojotan karena sensasinya.
"Bapak suka ngeliat si Atin ngocok di kali belakang rumah kalo sore, kadang-kadang bapak juga suka ngocok bareng"
Ah, darahku semakin mendidih mendengarnya, belum lagi kocokan Pak Pardi bener-bener yahud. Dia menghentikan kocokan di kontolnya dan mengalihkan kedua tangannya di kontolku. Kini aku yang nyender di batang pisang dan Pak Pardi duduk bersila di sampingku dekat di bagian kontol. Sambil tangan kanannya mengocok batang kontolku, tangan kirinya tidak henti-hentinya bergerilya di biji peler dab jembutku yang masih terbilang tipis.
"Kadang bapak ngocokin kontol dia, dan dia ngocokin kontol bapak, aduh enak banget Mas Win. Persis kayak kita gini"
"Ah Pak Pardi, gila bener, aku jadi pengen ngecrot dengernya"
"Mas Win mau nggak kalo kapan-kapan bapak ajak ngocok bareng sama Atin?" tanya Pak Pardi sambil terus merancapiku.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya, hanya bisa melenguh enak dan kedua tanganku terangkat ke atas dan memeluk batang pisang yang kusandari.
"Ahh.. Mau banget Pak, mau banget, aduh Pak.. enak, pengen keluar udah bener-bener nggak kuat"
Tapi sebelnya Pak Pardi menghentikan kocokan mautnya di kontolku. Aku membuka mata dan bertanya dengan tatapan mataku,
"Mas Win bangun dulu" ujarnya. Aku bangun dan bersender di batang pisang yang sama dengan kontol yang masih tegak mengacung.
"Kenapa Pak?"
"Kalo mau ngecrot, kita ngecrotin samaan ya"
"Kita ngocok berdiri Pak?"
"Nggak, liat aja. Bapak biasanya kalo ngecrot bareng Atin sering yang kayak gini, Mas Win diem aja yah"
Kemudian Pak Pardi mendekatiku, sebagai yang sangat tak berpengalaman jelas sekali aku deg-deganm apalagi melihat Pak Pardi sekarang hanya beberapa senti saja di depanku dan kontol kami sudah saling menyenggol.
Pak Pardi kemudian memelukku, karena tubuh kami hampir setara, posisi kontol kami tak terlalu berbeda sehingga saat Pak Pardi memelukku kontol kami saling bersentuhan.
Darahku seperti mengalir dengan cepat dan sensasi kontol kami yang saling berdempetan membuat tubuhku bergetar.
Pak Pardi kemudian menggeol-geolkan tubuhnya dengan gerakan memutar dan sedikit naik turun. Rasanya LUAR BIASA, kontol kami bergesekan, jembut kami bersatu dan sesekali ada sedikit rasa sakit saat jembutku tertarik entah oleh gerakan gesek batang kontolnya atau tertarik oleh jembutnya.
Kedua tangan Pak Pardi memeluk batang pisang dan kepalanya di rebahku di bahuku sementara kontolnya terus di gesek-gesekkan di kontolku.
Aku benar-benar sudah nggak tahan lagi. Akupun mengerang keras dan..
Crott.. Crott.. Crott spermaku menyembur berkali-kali diantara gesekan kontol kami, entah kemana saja semprotannya aku tak perduli karena rasa yang begitu enak membuatku tak berfikir apa-apa lagi. Kemudian Pak Pardi melepas pelukannya di tubuhku lalu mengocok kontolnya dengan sangat cepat dan kembali
Crott.. Crott.. Crott.. Crott.. Crott.. Crott, semprotan yang jauh lebih banyak dari kepala kontolnya di arahkan Pak Pardi di kontol dan jembutku. Cairan kental itu mengalir ke bawah dan Pak Pardi kembali memelukku serta kembali menggesekkan kontolnya sembari ia mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Kami akhirnya sudah mendapatkan kesadaran, dan dengan tubuh bugil berjalan ke arah pancuran untuk membersihkan tubuh dan sisa-sisa sperma.
"Pak, kapan kita bisa ngocok bareng Atin?" tanyaku.
"Yah kalo Mas Win mau, besok juga bisa disini" jawab Pak Pardi sambil tersenyum.
"Nanti bapak kasih liat, bagaimana cara bapak maen sama Atin."
"Maen..? Maen apa Pak?"
"Pokoknya liat aja besok, di jamin Mas Win suka, malah pengen ngerasain"
"Ah Pak Pardi ini bikin penasaran aja" ujarku manja.
"Tapi apa Atin mau ya kalo ada aku Pak?"
"Dia sih pasti mau, malah seneng. Kadang Pak Danial juga suka ikutan"
"Pak Danial hansip?" tanyaku kaget.
"Iya"
Mulutku melongo, Pak Danial adalah hansip yang suka jaga malam di rumahku.
"Ya sudah Pak, saya sudah nggak sabar nunggu besok"
Pak Pardi tertawa dan menarik jembutku sehingga aku kaget, lalu Pak Pardi berjalan cepat mendahuluiku yang berusaha mengejarnya untuk balas dendam menarik jembutnya juga. Senangnya..

Jumat, 24 Februari 2012

Dengan Seniorku


Lebaran baru saja kita lewati. Aku jadi ingat sebuah cerita yang tersimpan di kepalaku semasa lebaran beberapa tahun yang dulu. Kurang lebih tiga tahun yang lalu semasa aku kerja.

Bila lebaran tiba, ada peraturan di tempat kerjaku dulu, satu orang Supervisor beragama non muslim bertugas sebagai piket harian di siang hari untuk menghandle tamu ataupun hal-hal lain yang sifatnya tidak selalu pasti ada. Tetapi suatu tugas yang utama adalah memeriksa lokasi produksi aman dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebenarnya ada security yang bertugas sebanyak 4 orang. Namun ada peraturan juga kalau security tidak boleh masuk ke area produksi kecuali atas permintaan minimal supervisor, itupun harus dengan alasan darurat.
                                                  
Demukianlah pada lebaran hari pertama pada saat itu, aku masuk sebagai piket. Jam setengah delapan seperti biasa aku dah sampai di di kantor. Setelah berbasa basi dengan security yang bertugas selama hamper setengah jam, dan menikmati kue ala lebaran yang dibawa security yang muslim yang memang tidak bisa cuti pada saat itu, aku masuk ke kantor. Memeriksa fax, ada beberapa fax yang masuk, ada ucapan lebaran dari perusahaan client, ada penawaran, dan ada billing. Setelah itu aku menghidupkan komputerku. Kemudian bersiap memeriksa area produksi setelah mengambil jas lab sebagai pakaian khusus di area produksi.

Setelah berkeliling area produksi aku kembali ke meja kerjaku, membuka file-file dan memeriksanya. Aku melakukan kerja layaknya hari-hari kerja biasa untuk mengusir kejenuhan dan kesendirian di ruang kantor yang begitu besar. Karena kantor kami bagai ruang besar dengan berpuluh meja yang setiap meja lengkap dengan computer. Semua aktifitas kantor dari kantor produksi, financial, hrd dan lain sebagainya, semuanya ada di ruang itu. Hanya factory manager saja yang memiliki ruangan sendiri lengkap dengan sofa untuk menerima tamu khusus Beberapa ruangan kecil terdapat di pinggir sebagai ruang meeting kecil, dan satu ruangan besar untuk meeting besar yang lengkap dengan meja bundar dan beberapa peralatan meeting dan audio visual. Dan di salah satu sudut, ada gang membelok sedikit terdapat satu ruang dapur untuk office boy, yang berdekatan dengan toilet pria dan untuk wanita.

Setelah lebih dari satu jam, aku mendengar langkah dan aku melihat financial manager datang tepat pada saat aku menunggui print rekapitulasi hasil produksi teamku. “Lho kok masuk pak” sapaku sambil sesekali melihat keluarnya kertas dari printer. “Iya, financial pusat meminta laporan keuangan kita bulan ini, harus terkirim sebelum masa liburan selesai untuk diolah setelah liburan” jawabnya sambil menuju mejanya dan langsung menghidupkan cpu-nya. “Kerja berat dong!” aku berkata sambil menuju mejaku dan duduk. “Kemarin sih udah hampir rampung tinggal dikit lagi nih, ini hari juga selesai”jawabnya, “dah lama?” “Dari setengah delapan tadi”

Namanya Robi Tan. Orangnya kurang lebih setinggi aku 173 cm. usianya kurang lebih 38 tahun, ganteng, badannya sedikit berisi atau tepatnya gempal. Kalau sepintas tidak begitu nampak kalau dia adalah keturunan china, tapi memang sedikit lebih putih. Sudah beristri, cantik lagi. Dari segi pandangan cewek sekantor dia tergolong idaman juga. Disamping dia ramah, baik dan juga tidak memandang ini levelku atau level bawahan. Tidak seperti pada umumnya yang punya jabatan lantas melihat bawahan atau buruh biasa seperti melihat tanah yang bisa seenaknya diinjak-injak.

Sebagai seorang penyuka sejenis, hmmm dianya sangat menggairahkan, dan kadang membuat aku horny apabila melihat dia. Tapi aku tak mau bertindak macam-macam terhadap dia apalagi yang namanya memancing birahi. Sebab dia straight dan akupun bertindak straight juga. Tak seorangpun rekan satu kerjaku yang tahu kalau aku penyuka sejenis. Kecuali mereka menebak karena di usiaku yang ke 33 belum juga menikah. Itupun hanya sebatas menebak.

Sambil mnegerjakan pekerjaan sesekali kami ngomong ngalor ngidul entah kemana arahnya.

“Bapak mau kopi, saya mau buat kopi nih?” tawarku sambil berdiri dan beranjak dari mejaku. “Mau banget!”

Sebelum aku masuk ke dapur kantor, aku buang pipis dulu karena memang dah kutahan dari tadi. Selagi asyiknya aku mengeluarkan kencingku yang mengeluarkan bunyi corrrrrrrrr karena kutembakkan tepat ke lubang urinate, dia masuk .

“katanya mau buat kopi” “sesak dari tadi pak” Dia mengambil posisi di urinate satu lagi di sambaing kananku. Aku sempat memperhatikan dia merogoh kontolnya untuk dikeluarkan. Tapi seketika itu juga aku tersadar dan langsung mengalihkan pandangan ke depan. Kudengar kencingnya mulai ngocor. Masih menikmati keluarnya kencing masing-masing, dia dengan sedikit tertawa kecil berucap, “ wah ternyata kamu punya kontol besar juga yah” tepat dengan selesainya tetesan terakhir kencingku.

Karena kuanggap sebagai gurauan, kujawab dengan gurauan juga, “ segini dibilang besar,” sambil kutunjukkan kea rah dia, “ tengok tuh bapak punya juga besar” lanjutku sambil menutup celanaku danmencuci tangan di wastafel. Dia tertawa kecil dan akupun meninggalkan dia setelah mengeringkan tanganku.

Aku langsung ke dapur dan mempersiapkan dua gelas. Aku membuka lemari atas dan mencari-cari kopi sachet. Selagi asyik mencari dan mebalik-balik karton di dalam lemari, selagi kedua tanganku terangkat ke lemari, dia langsung memelukku dari belakang. Dan merangkulkan kedua tangannya ke dadaku. “Bolehkah aku mengisapnya?” katanya. Seakan aku tak percaya, karena dia straight selama ini, sambil memutar badanku sehingga aku dipeluknya dari depan aku tak bisa ngomong apa-apa. Jantungku berdetak keras. Dan belum sempat berpikir apa-apa, dia langsung menempelkan mulutnya ke mulut aku dan menyedot bibirku dan lidahku bergantian. Aku tak bergerak, kedua tanganku diam saja, tetapi mataku terpejam. Bibirku tak mau kumainkan, namun kontolku mulai teras bergerak. Dia semakin ganas menciumi aku dan tangannya mengusap badanku, dan tak luput dia meraba kontolku yang semakin tegang dalam celanaku.

“Pak ini kantor pak!” kataku saat dia melepas bibirku. Dan aku tetap diam seperti tak merespon dia sekalipun tak melawan. Dan sepertinya dia tak mau melihat mimik wajahku, dia membenamkan wajahnya ke telingaku. “Cuma kita berdua yang ada disini” bisiknya ke telingaku, semakin merangsang dan membuat aku terbakar gairah. Dan kedua tangannya bermain membuka ikat pinggangku. Ingin rasanya aku membalasnya dengan memeluk dia dan meraba selangkangannya, tapi aku tetap bertahan.

Celanaku sudah melorot kebawah, tinggallah celana dalamku. Dia pun langsung berjongkok dan membenamkan wajahnya ke kontolku, sehingga kontolku terasa sekalu berkedut-kedut. Aku memang menikmatinya dansangat menikmatinya. Selagi dia membuka kancing kemejaku paling bawah, dia menjilati pusar dan perut bawahku. Membuat aku bergetar kenikmatan. Tanpa sadar aku memegang punggungnya. Sejenak kemudian aku menariknya. Kemudian tangan kanannya mulai menyingkap celana dalamku. Kontolku terlepas dari ban celana dalamku dan mengayun bagai pentungan. Dia langsung menangkapnya dengan mulutnya. Seketika itu juga aku merasakan hangat mulutnya setelah kontolku bersarang dalam mulutnya. Oh sangat nikmat sekali. Tangannya memegang kedua belahan pantatku untuk menekan kontolku sedalam mungkin. Kudorong juga pantatku. Dia mengulumnya hamper habis. Diputarnya kepalanya k kiri dan ke kanan. Akupun merasakan nikmat luar biasa dari permainan mulutnya.

Dia melepaskan kontolku yang bermandikan air liurnya, dan meneruskan aksinya ke bagian telorku. Aku merasakan jilatan lidahnya menyapu kulit telorku. Aku merasa geli. Kemudian dia memasukkan paksa kedua telorku ke dalam mulutnya. “Aaaahhhhhhh, shhhh ahhhhh” aku mendesis meraskan nikmat bercampu geli. Kusandarkan pinggangku ke meja keramik di belakangku. Kemudian dia kembali melanjutkan aksinya ke kontolku. Kembali dikulumnya kontolku. Dan memainkan lidahnya di lobang kencingku, memutar lidahnya di kepala kontolku dalamm mulutnya, membuat aku semakin melambung. Sesekali tanganku memegang kepalanya namun kutarik kembali, agar aku tampak syok. Setelah lima menit dia memaju mundurkan kepalanya, aku mulai tak tahan. Darahku seakan bergerak dari sekujur tubuhku, dan seakan mau meledak. Aku mau nembak. “akhhhh pak….. hampir” aku bergumam tak terarah. Tapi dia tak perduli, dan semakin mempercepat memaju mundurkan kepalanya. Dan akupun tak bisa menahan lebih lama lagi, dan menyemburlah lahar panasku di mulut dia. Dan aku menekan pantatku ke depan agar sedalam mungkin, diimbanginya dengan menghentikannya dengan semakin dalam mengulum kontolku. Croot…..crot…..crot…….setelah beberapakali tembakan, dia mengeluarkan kontolku. Kulihat dia memandangi kontolku sambil menelan spermaku. Aku tebelalak sebentar. Namun aku kemudian menutup mataku agar tak terlihat olehnya dan menggigit bibirku bagian bawah. Kurasakan kembali mulutnya mengulum kontolku yang setengah tegang. Seakan mau membersihkan sisa sperma dan air liurnya dia menjepit bibirnya, dan menarik kepalanya ke belakang.

Kemudian kurasakan celana dalamku, terangkat ke atas dan dia berdiri sambil membetulkan posisi celana dalamku.

“terimakasih yah,” katanya di telingaku. Aku tetap tak menjawab dan beridiam diri. Dia mencium bibirku sekali dan langsung berlalu. Aku langsung membetulkan posisi pakaian ku dan celanaku. Dengan langkah tanpa suara, aku mengikuti dia. Dari balik sudut dinding, aku melihat dia, berdiri membelakangi aku, dan seakan dia menyadari apa yang dia lakukan, dia membungkuk ditopang tangannya yang menekan meja. Lama tak bergeming.

Aku kembali ke dapur, seakan tak percaya aku beriri sendirian di dapur. Rasanya aku ingin mengeluarkan kegembiraanku setelah menikmati mulutnya. Tapi tetap seakan tak percaya kalau financial manager kami, yang jelas straight selama ini dan sudah menikah, yang orangnya ganteng, adalah penggemar kontol. Dan aku menyadari dari caranya memperlakukan aku, kulumannya tadi, dia bukannya sekali atau dua kali aja pernah menikmati kontol. Atau paling tidak mendapatkan perlakuan seperti itu. Mungkinkah kalau istrinya mau mengulum kontolnya. Aku berkhayal.

Setelah hampir seperempat jam aku menyendiri di dapur, aku muncul juga ke kantor dengan dua gelas kopi di tanganku. Ketika di sudut tempat aku mengintip dia tadi, aku langsung melihat ke posisinya. Kulihat dia sedang menutup wajahnya. Namun setelah mendengar langkahku dia kembali tegak dan memperhatikan monitornya. Kuletakkan kopiku di mejaku kuteruskan melangkah ke mejanya, tanpa berkata apa-apa aku meletakkan gelasnya di mejanya dan aku berlalu.

Selanjutnya, kami bekerja tanpa berkata sepatah pun. Aku sengaja tidak ngomong apa-apa sekedar mempermainkan dia, agar timbul rasa bersalah yang dalam, di hatinya. Padahal aku masih menginginkannya bahkan lebih dari itu. Dan selama itu juga, aku tahu kalau dia sering melihat aku. Aku tetap tidak melihat dia.

Namun pada akhirnya, menjelang makan siang, dia menyerah juga.

Dengan tenang, dia melangkah mendekati mejaku. Aku bertingkah sseperti lagi sibuk. “ Maafkan aku yah pak Johan” dia berbicara, tepat di sudut mejaku “ tak seharusnya Bapak saya perlakukan seperti itu” dia melanjutkan. “Tak ada yang perlu dimaafkan Pak” jawabku menatap matanya.”Toh semua sudah berlalu”. Memang ada penyesalan kulihat di matanya.” Dan seharusnya saya yang minta maaf. Karena pada dasarnya saya yang salah berawal dari toilet tadi. Tapi saya tidak berpikir kalau itu membuat Bapak terpancing” aku berkata sambil mataku melihat meja. Dalam hatiku aku tawaku ingin meledak karena aku melihat pejuh yang mengering di sudut bibirnya dan melebar lebih menyerupai bercak. “Tapi Bapak tak marah kan?” dia ingin memastikan.  Aku menggelengkan kepala. “Kalau begitu, saya tak perlu takut mengajakmu makan siang bareng kan” “Kenapa harus takut! Ayo” jawabku dengan dengan mematikan cpu-ku. Dia berlalu ke mejanya.

Aku mengambil tissue yang terdapat di mejaku dan kubasahi dengan air putih. Selagi dia meberesi mejanya, aku sudah berdiri dekat kaca. Setelah dia mendekat, aku menangkap tangannya “Sebentar” aku melihat wajah serius, “coba Bapak lihat ke kaca” kataku, dan diapun melihat wajahnya di kaca. “Waduh” katanya setelah melihatnya. Dan memutar badannya. Tetapi lagi-lagi kutangkap, kali ini tangan kiriku berada di pinggangnya. Kusapukan tissue yang tadi kupegang untuk membersihkan noda pejuh tadi. Setelah bersih aku melemparkan tissue tersebut ke tempat sampah yang ada di situ. Kemudian berbarengan kami keluar kantor. Aku menuju pos security dan dia menuju parkir. Di pos security aku menunggu dia denngan sedannya yang mulus warna silver, buatan Toyota.

Setelah sampai di pos security, dan bicara dengan security, sebentar mobilpun keluar. Setelah keluar dari gerbang security, aku lebih memilih diam tak bicara. Aku memilih diam agar dia merasa lebih bersalah. Dan saatnya tiba nanti, aku bisa balas dendam dengan buas. Tapi semakin berpikir seandainya aku ingin menikmati kontolnya sudah lebih mudah tanpa harus berbuat seperti itu. Karena sudah jelas dia seorang penggemar pria juga. Tapi aku sangat menginginkan lobang kenikmatanya disamping kontolnya untuk kukulum. Ahhhhh hayalku membangkitkan nafsuku setelah sedikit reda setelah muncrat tadi. Dan aku menyesal jadinya, aku memunculkan kesukaanku juga terhadap dia, setelah aku berhasil mengingat, pada saat aku hendak membersihkan pejuh di sudut bibirnya tadi. Aku memegang pinggangnya. Dan aku membersihkannya dengan mesra. Ahhhhh salahku juga. 
“Kamu masih marah yah samaku, Kok diam aja ngomong dong” dia membuyarkan lamunanku. “Gak ahhh!” jawabku sekenanya, “lagi gak ada topic kayaknya” kataku. “Ngomong apa kek” katanya, “oh iya makan dimana kita?”tanyanya kembali. “Kayaknya rumah makan muslim pada tutup nih” jawabku, “gimana kalo kita makan fastfood aja, atau di rumah makan china” usulku. “Oke, masakan Chinese pun jadi” katanya 
Aku kembali diam. Mataku tertuju ke depan. Baru kusadari, ternyata kaca mobilnya adalah kaca film yang apabila pandangan dari luar ke dalam tak akan terlihat dalam hari cerah seperti sekarang. Kulihat kaca kiri kanan juga demikian. Belakang juga. “Lihat apa? Kok krasak krusuk gitu?” tanyanya saat aku menoleh ke kiri ke kanan ke belakang. Dan cukup membuat aku kelabakan untuk langsung mejawab. “Ah gak aku tadi sempat ngelihat orang naik motor kayaknya mirip temen” jawaku tiba-tiba. Untung aku bisa jawab. “dimana sih rumah makan Chinese terdekat?” tanyaku mengalihkan topic. “Ada setelah simpang jalan bogor” katanya. Aku diam kembali. Dan dia diam juga untuk beberapa saat. Tapi untuk menghilangkan kepakuman dan tidak canggung, aku ingin memulai menanyakan beberapa hal tentang kesukaannya terhadap lelaki. Tapi lagi-lagi pikiranku jadi lawanku, kalau-kalau dia tak suka dengan pertanyaanku. “Pak boleh aku tanya sesuatu?” kataku secara tiba-tiba. “Kok malah pake permisi! Tanya apa aja boleh. 
Tentang yang tadi yah?” tanyanya kembali seakan bisa membaca pikiranku. “Iya. Kok bapak bisa-bisanya suka sama kontol? Padahal bapak dah punya?” aku jadi kelimpungan untuk bertanya. Padahal itu pertanyaan bodoh. “Aku dulu gak begitu. Aku pertama sekali begituan saat menjelang akhir kuliah. Oleh dosen pembimbing. Dia suka sama aku. Padahal dia sudah menikah. Waktu itu aku ke rumah dia bimbingan tugas akhir.” Dia bercerita. “Dari saat itulah aku keranjingan isap mengisap. Aku tau enak diisap dan mengisap” “Rusak amat jadi dosen seperti itu, mahasiswanya lagi” “Menurut aku gak juga karena waktu itu, dia gak memaksa aku kok. Pada saat itu aku berpikir tak lebih dari sekedar coba-coba. Tapi memang effeknya sampe sekarang”, katanya seakan menyesalinya. “Selama ini semua tau bapak sebagai straight” aku seakan ngeledek dia. “Kan bahaya kalau semua tau” Dalam hati aku geram. Seakan dia menyepelekan aku gak akan buka mulut. “Jadi bapak menyepelekan aku, bahwa aku gak akan buka mulut” aku memoloti dia. “bukan berarti begitu. Aku menganggap kamu itu dah dewasa dan gak akan membuka aib orang” dia diam sebentar, “tapi terserah kamu aja mau buka ato gak. Karena toh aku sudah siap apapun yang terjadi. Tadi memang ku akui aku sangat salah. Tapi aku buta, karena aku sangat horny setelah melihat anumu” katanya sambil sesekali menoleh aku. Aku terdiam “Jadi selama ini bapak dengan istri, gimana? Apa bapak gak pernah lagi setelah menikah?” aku mengoreknya. “Aku tetap juga doyan kontol, sekalipun aku sudah menikah.” Aku tak melanjutkannya lagi. 
Aku melirik selangkangannya disaat matanya tertuju ke depan fokus menyetir. Kulihat selangkangannya begitu menggunduk. Aku yakin kontolnya mulai hidup seiring topic pembicaraan kami tadi. Ingin rasanya tangan ini merayap, dan mulut ini mmengulumnya selagi dia nyetir. Ohh betapa nikmatnya. Aku jadi teringat dulu pernah seperti itu. Mengulum, mengocok teman yang sedang menyetir. Pada saat itu dia seakan hilang konsentrasi merasakan nikmatnya sampai dia muncrat selagi dia menyetir. Tapi kali ini disamping karena siang aku takut dia tak dapat mengendalikan pikirannya nanti dan tetap bisa memegang setir. Akupun mengurungkan niatku. 
Sesampainya di rumah makan yang kami tuju, kami langsung memesan makanan dan menunggu sebentar. Setelah selesai, kami hanya sebentar saja disana, dia langsung mengajak angkat kaki. 
Di tengah pejalanan aku menyakan dia apakah masih balik atau tidak ke kantor. Dan dia malah mengajak aku main-main ke rumahnya. “Istriku sedang berlibur, membawa mertua jalan-jalan ke Singapure. Sepi banget di rumah sendirian, mau dong!!” kata dia seakan merayu aku. Dalam hati aku sangat gembira, padahal tadi aku punya rencana mengajak dia masuk hotel dah menikmati pergumulan yang sangat kutunggu. Rencanaku mengajak dia tadinya langsung aja mengungkapkannya. Tapi dia sudah mengajak ke rumahnya lebih dulu. Dalam anganku terkabul dah menikmati kontolnya. Tapi aku masih agak jual mahal. “Ahh nanti bapak malah memerkosa aku kayak tadi!” aku beralasan. Dengan tersenyum dia berkata, “Kalo ada kesempatan kenapa tidak” katanya dengan senyuman tertahan, “gak deh percaya deh” 
Kami pun meluncur kea rah rumahnya. Rumahnya besar. Halamannya tidak begitu luas. Tetangganya agak sepi. Sangat mendukung pikirku. 
Setelah masuk garasi, dia membuka pintu akses dari garasi ke ruang keluarga. Aku dipersilahkan masuk. Dia pergi menutup gerbang dan setelah itu mengunci garasinya. Aku masuk ke ruang keluarganya. Disana terletak televisi layar lebar yang di depannya terbentang karpet sangat lembut. Dari situ akses becabang ke ruang tamu, ke dapur, dan kamar. Lurus dari televisi ke depan di ujung karpet ada sebuah meja, kemudian sofa. Hayal liarku membayangkan posisi karpet dan sofa itu. Berapa kali sudah dia bercinta atau make love dengan istri atau siapa aja di sofa dan karpet itu. Aku senyum sendiri menghayalkan itu. Aku masih berdiri menikmati ruangan itu. Sungguh ruangan yang nyaman untuk bercinta. Khayalku semakin merajalela. Karna terbuai pikiran kotorku, dari jarak jauh aku berdiri, aku memeriksa karpet itu, barangkali ada bercak bekas muncratan pejuh. Tapi sepertinya tak ada. Ahh betapa kotornya pikranku saat itu. 
“Loh kok berdiri aja sih! Duduk dong, anggap aja rumah sendiri!” dia mengejutkan aku di ambang pintu. “Segan ah tuan rumah belum masuk, masak langsung duduk!” kataku beralasan. “Gak apa-apa lagi” katanya sambil meletakkan kunci mobilnya di atas meja, setelah pintu akses ke garasi tadi dia tutup. Akupun melangkah ke ujung sofa menghempaskan pantatku sedikit agak ke tengah sofa. Sambil menarik pakaiannya dia berlalu menuju dapur. Aku memperhatikannya membuka bajunya. Sambil membuka bajunya dia menawarkan aku mau minum apa, yang kujawab air putih aja. Dengan hanya memakai jeans dan singlet, dia datang membawa 2 gelas dan botol air minum. “Silakan!” ucapnya, sambil meletakkannya di atas meja.”mo ganti baju dulu” katanya berlalu menuju kamarnya. Seandainyalah aku yang membuka jeansnya, ohhhh mesranya, lagi-lagi khayal gilaku. Kucoba menepisnya dengan menuang air minum dingin ke gelas. 
Baru seteguk kuminum, dia sudah kembali dengan memakai celana pendek putih dengan singlet putihnya. Tanpa dia sadari aku sangat menikmati pemandangan itu. Sangat seksi.singlet yang ngepas, celana pendek yang hanya setengah paha, tipis lagi. Dia berjalan menuju tv dan menghidupkannya. Pada saat dia membelakangi aku, ternampak olehku bentuk CDnya. Ohh seksinya, pikirku. Jantungku berdetak keras menikmatinya. 
Setelah itu, dia mengambil posisi, tepat di samping kiriku. Sehingga dengkul kami sedikit bersentuhan. Tepat seperti yang kurencanakan makanya aku mengambil posisi lebih awal sedikit ke tengah. Dengan sudut mataku, aku bisa melihat tonjolannya terbentuk oleh celananya yang menyempit setelah duduk. Jantungku semakin kuat berdetak. Ingin rasanya tangan ini menjalari bagian itu. Tapi aku masih berhasil menenangkan diri dengan merentangkan tangan kananku sehingga badanku sedikit menjauh dari badannya. 
Di tv sedang, menayangkan acara infotainmentnya para artis berlebaran. Bosan. “Malas banget nonton acaranya, gosip melulu” kucoba membuka pembicaraan. “Emang! Tapi gak ada lagi acara yang enak selain ini di jam segini” jawabnya dan meletakkan remote tv. Aku menarik tangan kananku. Tetapi justru dia merentangkan kedua tangannya di punggung sofa. Sehingga telapak tangannya berada dekat dengan pundak kananku. Dia memulai pikirku. Seandainya dia mau memulai dengan menyentuhpundakku akan kulayani, pikirku. 
“Kok bapak gak ikut ke singapure?” aku memulai pembicaraan dengan menoleh ke arah dia. “Iyah ngerti ajalah jalan sama mertua mending gak usah ikut. Lagian kan kerjaan numpuk biarpun gak dijadwalkan masuk.” Katanya dengan melihat mataku. “Kerjaan kan gak ada habis-habisnya Pak!” mataku kuarahkan ke tv.”sementara liburan bareng keluarga kayak gini jarang-jarang ada” aku melanjutkan. Aku semakin tak sabar menunggu sentuhannya di pundakku. Namun masih kutunggu. “Iya sih!” matanya tertuju ke tv juga, tapi dia menggangkat kakinya sebelah kiri ke atas sofa. “lagian malu dong sama mertua. Biaya kesana semuanya ditanggung mertua” aku menoleh ke dia. Dan aku berhasil melihat gundukan selangkangannya semakin terhimpit. Dan kepala kontolnya jelas tercetak menggunduk. Hanya sepintas, karena aku kembali melihat layar tv. “Sebetulnya mertua, ngajak aku juga. Tapi dengan berbagai alasan jadilah aku tak ikut” katanya melanjutkan. 
“Kalo seandainya aku sih, aku mau aja!” kataku dengan sedikit tertawa sambil merebahkan kepalaku dengan pura-pura gak tau tangannya ada di belakang. Kesabaranku menunggu dia menyentuh pundakku hilang. Sehingga kepalaku kurebahkan. Namun dia tak menariknya. Aku memejamkan mata. 
“Kan itu kamu,” diapun merebahkan kepalanya ke belakang, “kan prinsip orang kan beda-beda” dia terhenti tapi tangannya mulai mengusap pundakku. Jantungku mulai berdetak keras. Karena yang kutunggu akhirnya datang juga. Belum berhenti tangannya mengusap pundakku dengan pelan, tiba-tiba dia melanjutkan, “iya juga yah! Perduli amat itu uang mertua.” 
Aku jadi tertawa dan berucap, “ Mertuamu kan kaya!” aku memberanikan diri meletakkan tangan kiriku di daerah dengkul kanannya. Berpura-pura membetulkan dudukku sehingga aku lepas dari usapan tangan kirinya. “seandainya mertuamu gak kaya, yah wajar dong berpikiran seperti itu.” Tanganku kutarik ke samping. Sehingga berada tepat sebagai pembatas pinggul kami berdua. 
Diapun membetulkan badannya dan menarik tangannya. Namun justru dia meletakkan kepalanya tepat di sisi pundak kiriku. Aku diam aja. Malah kutarik tanganku dan kuberanikan diriku meletakkannya di atas pundak kirinya. Inilah saatnya untuk memulainya pikirku. Tetapi aku sangat enggan untuk memulai. Aku memandang ke arah tv. Di dekat tv ada beberapa frame foto keluarganya. 
Aku berdiri mendekati foto itu. Dia mengikuti dengan mengangkat kepalanya. Aku berdiri dekat televisi. Tanpa melihat ke belakang, “ini foto istrinya yah pak?” tanyaku berpura-pura. Dan tanpa menunggu jawaban, “cantik juga istri bapak” . Kutahu dia terpancing. 
“Inilah keluargaku” katanya mendekat. Dengan meletakkan tangan di bahuku, aku merasakan getaran sangat nikmat. “Yang ini mertuaku” katanya dengan menunjuk pake tangan kirinya, ke sebuah foto. Foto itu menunjukkan seorang bapak sedang duduk di kursi. 
Dengan melingkarkan tangan kiriku ke pinggangnya dari belakang. Telapak tanganku terbuka lebar di sisi perutnya. Dia semakin merapatkan badannya. Aku tahu dia semakin tergoda. Namun segera kusadari dan aku melepaskan diri dan kembali duduk. Dia pun mendekat dan duduk. Namun kali ini duduk kami sangat rapat sehingga paha kanannya menempel ketat ke paha kiriku. Aku semakin terbakar nafsu ingin langsung memeluknya. Tetapi aku masih menahan diri. Aku sempat melihat gundukan celananya semakin menggoda. “Sudah berapa lama ibunya berlibur?” tanyaku “Hampir seminggu!” katanya singkat “Pantesan….!” “Pantesan apanya?” katanya sambil senyum “gak peduli jeruk makan jeruk!” kulewatkan tangan kiriku untuk terentang dan dia mengangkat kepalanya. Saat ini tanganku jadi bantalnya. Telapak tangankupun mulai mengusap bahunya yang telanjang. “Yang penting enak”, katanya seraya tangannya mengusap pahaku. Kali ini kubiarkan. Karena aku gak sabar lagi agar segera menggumuli dia.
Kupandangi wajahnya lekat lekat. Dan dia juga memandang mataku tak lepas. Kami beradu pandang. Tangannya semakin menjalar ke arah selangkanganku. Kudekatkan bibirku ke mulutnya tanganku satu lagi memegang wajahnya. Diapun mendekatkan mulutnya ke mulutku. Kulumat mulutnya Lidah memainkan lidah, bibir menyedot bibir. Tanganku merasakan tongkatnya semakin membesar. Dia memperlebar bukaan pahanya, sehingga tanganku semakin leluasa. Sementara tangannya semakin buas menjelajahi selangkanganku. Kulepas lumatanku untuk sesaat. Seakan tidak rela dia mengikutkan wajahnya. Kupandangi matanya sambil tersenyum. Diapun tersenyum melihat mataku. Kembali kulumat mulutnya. Akupun mengambil manuver menduduki pangkuannya dan dia ku peluk erat. Diapun melingkarkan tangannya memeluk erat. Kemudian kulekatkan pipiku ke pipinya dan ku gesek-gesek. Diapun memanjangkan lehernya. Aku ciumi lehernya membuat dia melenguh nikmat. Aku semakin buas dan leluasa menjilati sekujur lehernya. Seakan disengat listrik dia meregangkan badanya. . Tanganku bergerilya di sempitnya badanya ke sofa. Sambil melumat mulutnya, kupegangani singletnya untuk membuka. Dia memberikan akses. Kutarik ke atas. Nampaklah bulu-bulunya di dada dan perut. Oh sangat sexy sekali. 
Gerakanku semakin membuat kontolku membesar. Kontolnyapun semakin menekan telorku. Memanas. Dia semakin melumat mulutku. Aku semakin sesak bernafas. Dengan susah payah kutarik nafasku dengan hidung. Wajahku menjelajah dadanya. Kugigit lembut pentilnya susunya. Kepalaku dipeluknya dengan erat menahan nikmatnya. Kumainnkan kiri dan kanan. Pakaianku teracak-acak oleh usapan tangannya. Kepalaku turun ke perutnya. Terus ke selangkanganya. Aku menciumi celananya. Kontolnya sudah sangat keras di balik celana pendeknya dan sepertinya sudah sangat sesak. Aku menekan mulutku disana. Dia melenguh tak karuan. Aku menggigit kontolnya . “ohhhhhh ahhhhhhh umphhhh” dia melenguh habis, “aku taka tahan lagi” katanya tertahan. Dengan segera aku menurunkan celananya sekaligus. Terpampanglah kontolnya yang sudah tegak maksimum mengayun menabrak wajahku. Hmmmmm mengasyikkan.
Tanpa menunggau lebih lama, aku melumatnya. Kumasukkan seluruh kontolnya sampai menyentuh tenggorokanku. Entah suara apa yang keluar dari mulutnya menahan nikmatnya. Dan terakhir dia bilang “please jangan siksa aku seperti ini”. Akupun menaikkan wajahku menuju wajahnya. Kulumat kembali mulutnya. Dengan rakus lidahnya menyambut mulutku. Tangannya dengan cepat dan berusaha melucuti pakaian dan celanaku. Sangat lihai sekali. Hingga dalam hitungan singkat aku sudah telanjang bulat. Dia memutar sehingga aku terduduk dan saat ini dia mau mengambil kendali. Menciumi seluru badan bagian depanku. Taklupa juga dia menggigit lembut kedua pentilku. Aku menggelepar tak terkontrol menahan nikmatnya. 
Dan akhirnya dia mengulum dan melumat kontolku. Kalo sudah begini biasanya aku tak tahan lama. Sangat nikmat. Dengan berpikir aku tak mau kalah dulun aku menarik wajahnya ke atas. Melumat kembali mulutnya. Aku melorotkan pantatku, sampai turun ke karpet. Kini kami sudah di lantai berkarpet itu. Dia menindih aku. Kuputar lagi agar dia di bawah. Kami berguling tak karuan. Kadang badanku atau badanya menyentuh kaki meja. Kami tak perduli. Kami sudah dikalahkan oleh hasrat yang menggebu dan memanas. Disaat aku menindih dia, kujelajahi kembali badannya sampai ke bawah.
Kulumat kontolnya. Masuk mundur, maju mundur. Kujilat telornya yang membulat. Uhhh tak muat di mulutku. Aku hanya bisa mengulum sebelah saja. Entah apa yang keluar dari mulutnya. Kujilat anusnya, diapun menggangkat kakinya memberiku ruang. Sambil kukocok kontolnya, kutusukkan lidahku menerobos buritnya. Baru lima kali tusukan, dia berbisik, “ aku tak tahan lagi, jangan siksa aku. Ohh nikmatnya” aku tak perduli. Kutusuk terus buritnya. “ohhh please, jangan lidahmu kontolmu aja” mendengar itu, aku mengangkat badanku. Daan kuciumi mulutnya yang dia terima dengan senang hati. Kuarah kan kontolku ke buritnya. 
Dengan susah payah aku memasukkannya. Dengan upaya berulang akhirnya kepala kontolku bersarang juga. Aku menahannya di situ beberapa saat. Aku asyik melumat mulutnya, agar dia lupa kalo yang masuk baru hanya kepala kontolku. Dan setelah bibir lobang kenikmatannya tidak mengunci kontolku lagi, dengan kasar aku mendorongkan kontolku sampai amblas seluruhnya dan bersarang memenuhi lobang kenikmatannya. Aku tahu dia kesakitan. Dari suara tertahan yang keluar dari tenggorokannya, karena kubekap dengan mulutku. Dengan kuat dia meronta. Namun dia tidak berusaha melepas atau mendorong aku. Hanya tangannya yang dia hempaskan ke karpet. Dengan erat dia kupeluk agar rontaannya tidak sampai melepaskan kontolku. Aku diamkan sebentar. Aku melepaskan mulutku karena dia tak meronta lagi. 
Kupandangi wajahnya. Matanya tertutup rapat dan mulutnya menyeringai menampakkkan giginya. Sambil kupandangi wajahnyanya, tangan kananku meraih kontolnya, kuelus, dan sudah setengah tegang. Kukocok perlahan. Dia menikmatinya. Dengan sayu dia membuka matanya. Aku tersenyum dan dengan senyuman paksa dia membalasnya. Diapun kemudian menarik badanku untuk dipeluk. Aku mulai mengayun dengan perlahan dan semakin lama semakin kencang. Wajahku kubenamkan di lehernya. Tangan kananku mengocok kontolnya. Beberapa saat kemudian dia menarik tanganku dan aku merasakan jepitan lubangnya. Aku tau dia semakin menikmatinya. ‘aku mau keluar ‘ dia berbisik. Dengan memeluk erat aku membalas bisikannya, ‘keluarkan sayang ‘. Dan bersusah payah aku memompa kontolku. Beberapa saat kemudian aku merasakan panasnya laharnya di perutku memperlicin badan kami. Berkali kali tembakannya. Pelukannya erat sekali. Nafasnya tertahan. Seiring dengan itu laharkupun meledak di lobang kenikmatannya. Kami terhempas tak bergerak. Aku masih dipeluknya erat. Kulumat kembali mulutnya. Entah berapa lama kami seperti itu. Tapi aku merasakan kontolku lepas sendiri dari anusnya, karena lemas. 
Aku menjatuhkan diri ke samping. Kupandangi langit-untuk sesaat. Dengan bertopang dengan tangan kiriku, aku tidur menyamping, kulihat betapa banyanknya spermanya di perutku dan perutnya. Sangat banyak, bahkan sampai dadaku dan dadanya. Kuusap sperma yang didadanya. Dia diam aja. Kupandangi matanya. “ ternyata kamu liar juga yah!!! Tapi kasar mainnya ‘ dia membuka pembicaraan. “sorry deh! Keburu nafsu” kilahku “Nggak apa-apa. Nikmat kok dan aku suka banget!” katanya sambil memeluk aku. “Besok kan gak dutymu?” tanyanya dan aku mengangguk. “Kamu tidur disini yah!!!” ajaknya. Aku diam aja. Dan akhirnya malam itu kami bermain habis-habisan. Entah berapa kali kami menikmatinya. Di kamar mandi, di dekat tv, bahkan dia tak perduli dengan mengajakku tidur di ranjang tempat dia tidur dengan istrinya. Malam itu sampai besoknya. Bahkan anusku terasa panas sampai dua hari, karena dia juga mengentoti aku. Aku pulang dari rumahnya jam 4 sore besoknya. 
Setelah itu kami juga sering melakukannya tetapi kebanyakan di motel. Karena gak ada tempat yang aman. Untuk menutupi agar teman sekerja tidak curiga kami hanya smsan. “kutunggu di kamar xxx, motel yyy yah” atau “masihkah ada pejuhmu untukku” atau “Kurindu kontolmu” atau “ jangan ngocok buritku masih mau menampung”. Nah kalo membalas yang ini, aku menuliskan, “ah paling juga aku mendapatkan sisa yang kau kasi sama binimu” Dan banyak lagi smsan yang lain. Hingga akhir kami di PHK dari perusahaan itu karena tutup, kami selalu melakukannya paling tidak 3 kali sebulan. Dan kami sangat menikmatinya dan tanpa diketahui siapapun. 
Dan aku memutuskan kontak dengan dia setelah aku pulang kampung. Pada awalnya setelah dia bekerja, dia juga menawarkan pekerjaan samaku di tempat kerja dia. Tapi aku tak mau karena akan menambah beban dia nantinya. Aku tak mau kami bubar setelah orang mengetahui hubungan kami. Lebih baik putus sebelum orang mengetahui, karena ini tidak umum di masyarakat kita.